TARAKAN – Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Tarakan mengungkap kekhawatiran atas maraknya praktik nikah siri di masyarakat.
Fenomena ini dinilai berdampak serius, baik dari sisi hukum, sosial, maupun perlindungan hak perempuan dan anak.
Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Tarakan, M. Aslam, menyebutkan bahwa pihaknya menerima berbagai laporan tidak resmi, terkait meningkatnya pernikahan siri di wilayah tersebut. Meski belum ada data pasti, informasi ini muncul dari berbagai laporan lisan dan permintaan masyarakat terhadap layanan isbat nikah.
“Banyak pasangan yang memilih nikah siri, tapi ini berisiko. Secara agama sah, tapi secara negara tidak tercatat. Akibatnya, perempuan dan anak yang paling rentan dirugikan,” ujar Aslam, di Tarakan, Selasa (8/7/2025).
Menurut Aslam, salah satu bahaya nikah siri adalah potensi pernikahan ganda tanpa pengawasan negara. Karena tidak tercatat di KUA, seorang pria bisa saja menikah lagi di tempat lain tanpa ketahuan.
“Kalau nikah resmi, tercatat dalam sistem. Kalau dia mau menikah lagi, ketahuan. Tapi kalau nikah siri, bisa saja dia nikah lagi di tempat lain, tanpa jejak hukum,” jelasnya.
Selain itu, dalam kasus perceraian, istri tidak dapat menuntut pembagian harta gono-gini, karena tidak ada dasar hukum pernikahan. Anak dari pernikahan siri juga akan kesulitan mengakses hak administratif, seperti akta kelahiran yang mencantumkan ayah biologis.
Aslam menegaskan, nikah siri sering kali merugikan pihak perempuan. Tanpa bukti hukum seperti buku nikah, perempuan sulit mendapatkan hak jika hubungan berakhir.
“Kalau berpisah, tidak bisa ajukan hak gono-gini, tidak bisa tuntut nafkah, dan kalau anaknya mau sekolah, butuh buku nikah orang tua. Ini jadi rumit,” katanya.
Kemenag Tarakan sendiri sudah beberapa kali memfasilitasi program isbat nikah, bekerja sama dengan Pemerintah Kota dan Pengadilan Agama. Program ini menyasar pasangan yang sebelumnya menikah siri, agar pernikahan mereka diakui negara.
“Dengan isbat nikah, pasangan bisa dapat buku nikah resmi. Ini penting agar pernikahan mereka sah secara hukum, dan hak-haknya terlindungi,” tutur Aslam.
Aslam juga membantah anggapan, bahwa menikah secara resmi di KUA itu mahal. Dia menegaskan, biaya nikah di KUA adalah nol rupiah, selama dilakukan di kantor KUA pada hari kerja.
“Banyak yang mengira nikah resmi itu mahal. Padahal, kalau datang sendiri, bawa dokumen lengkap, prosesnya gratis. Justru kalau nyuruh orang, baru keluar biaya,” jelasnya.
Aslam berharap masyarakat tidak tergiur oleh iming-iming bantuan dari program nikah massal, dan justru menunda menikah secara resmi.
Penulis: Ade Prasetia
Editor: Yusva Alam