TARAKAN – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya atau terjebak pada informasi palsu atau hoaks yang beredar mengenai vaksin tuberkulosis (TBC).
Imbauan ini disampaikan secara langsung oleh Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Irwan Yuwanda.
Dia menegaskan bahwa, kehadiran vaksin TBC ke depannya akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Vaksin ini berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman penyebab TBC.
Dengan perlindungan ini, maka diharapkan sistem kekebalan tubuh masyarakat terhadap penyakit TBC akan menjadi lebih kuat. Selain itu, vaksin ini juga memiliki potensi besar dalam menurunkan angka kesakitan maupun kematian akibat TBC, yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
“Masyarakat saya harap tidak terpengaruh dengan berita-berita hoax tentang vaksin TBC,” ucapnya pada Senin (26/5/2025).
Irwan juga mengimbau, agar masyarakat tidak serta merta mempercayai kabar yang belum terbukti kebenarannya, khususnya yang tersebar luas melalui media sosial.
Dia mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dan sabar, menunggu hasil uji klinis fase ketiga dari vaksin TBC yang saat ini sedang berlangsung. Uji klinis tersebut dilakukan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga melibatkan beberapa negara lain, dengan melibatkan ribuan partisipan sebagai bagian dari proses pengujian efektivitas dan keamanan vaksin.
Dirinya tak menampik, bahwa saat ini telah beredar banyak informasi hoaks yang menyebutkan bahwa vaksin TBC berbahaya bagi tubuh. Padahal, menurutnya, vaksin tersebut justru hadir sebagai langkah pencegahan penting di tengah tingginya kasus TBC di Indonesia.
Negara ini masih menghadapi tantangan besar dalam penanganan TBC, sehingga keberadaan vaksin bisa menjadi salah satu solusi jangka panjang yang signifikan.
Irwan menyampaikan, masih ditemukan sejumlah pasien TBC yang menolak untuk menjalani pengobatan medis. Penolakan ini disebabkan oleh berbagai alasan, salah satunya adalah keyakinan terhadap pengobatan herbal serta rasa takut untuk mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang panjang, sebagaimana prosedur standar dalam pengobatan TBC.
“Kemudian penolakan pada kontak erat pasien TBC, untuk tepat karena tidak ada gejala sakit,” katanya.
Fenomena ini cukup memprihatinkan, karena kontak erat pasien TBC tetap memiliki risiko tertular meskipun belum menunjukkan gejala. Oleh karena itu, edukasi masyarakat dan peran vaksin menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan penularan lebih luas.
Irwan berharap, dengan adanya vaksin TBC yang tengah dikembangkan dan diuji, masyarakat dapat lebih terlindungi. Vaksin tersebut diharapkan mampu membantu tubuh membentuk kekebalan terhadap penyakit TBC, dan secara signifikan dapat mengurangi risiko masyarakat tertular, terutama dari bentuk penyakit TBC yang parah dan berbahaya.
Penulis: Ade Prasetia
Editor: Yusva Alam