TANJUNG SELOR- Pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) Tanah Kuning-Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Bulungan, mengharuskan masyarakat Kampung Baru direlokasi.
Mereka direlokasi, merupakan dampak langsung karena adanya perluasan kawasan pembangunan KIHI, yang telah bergerak saat ini. Namun, untuk proses relokasi, hingga hari ini belum ber progres di lapangan.
Hal itu, dibenarkan oleh Camat Tanjung Palas Timur, Gafar bahwasanya pengelola kawasan belum merelokasi warga yang terdampak pembangunan kawasan industri.
Sehingga, aktivitas masyarakat di Kampung Baru tetap berjalan normal. Karena belum menemukan kata sepakat, soal relokasi tersebut dia meminta adanya peran dari pemerintah Kabupaten maupun Provinsi ikut mengambil bagian, menyelesaikan persoalan ini, sehingga dapat segera tuntas dan pembangunan berjalan lancar.
“Kita harapkan peran serta pemkab Bulungan dan Pemprov Kaltara,untuk menyelesaikan persoalan ini. Khususnya berkaitan dengan edukasi kepada masyarakat,” ujar Gafar, Senin (23/10/2023).
Dengan begitu, masyarakat dapat menerima terkait rencana relokasi tersebut. Jika ini diabaikan bukan tidak mungkin warga menolak untuk direlokasi. Untuk itu, perlu adanya peran pemerintah dalam memberikan pemahaman bagi warga.
Pasalnya, lahan yang di relokasi di Desa Mangkupadi sudah disiapkan seluas 50 hektare. Namun, sampai saat ini belum ada penambahan untuk luasan lahan relokasi. Dan saat ini, juga belum ada pembangunan yang dilakukan oleh pihak pengelola kawasan.
Camat Tanjung Palas Timur ini mempertanyakan, bagaimana warga mau direlokasi, kalau belum ada pembangunan yang dilakukan oleh pengelola kawasan.
“Pengelola kawasan, akan sulit untuk melakukan pembangunan jika lahan warga belum dibebaskan oleh perusahaan,” tuturnya.
Persoalan ini sempat tersampaikan ke Bupati Bulungan, Syarwani bahwa untuk rencana relokasi warga yang terdampak pembangunan KIHI saat ini tengah dalam tahap sosialisasi.
Orang nomor satu di Bulungan ini menegaskan, sebelum melakukan relokasi, harus mendengarkan keinginan warga setempat. “Ada dua konsep yang ditawarkan oleh pengelola kawasan, kepada warga yang terdampak pertama soal ganti untung dan kedua relokasi,” jelas Syarwani.
Dikatakan, hampir sebagian besar warga setempat ingin direlokasi, tapi sebagian lagi mau untuk diberikan kompensasi atau ganti untung.
Menurutnya, hal ini harus terinventarisasi by name by address terlebih dahulu ssesuai nama dan alamatnya. Jangan sampai pengelola kawasan memutuskan untuk membuat kebijakan relokasi, ada warga yang enggan direlokasi.
Jika seperti itu, maka prosesnya akan lebih panjang. Kalaupun kebijakannya ganti untung tentu harus ada proses negosiasi, karena tidak mungkin warga bisa langsung menerima harga yang ditawarkan oleh pengelola kawasan.
Maka diperlukan, inventarisasi. Sehingga, pelaksanaan di lapangan dapat berjalan sesuai skedul yang sudah ditetapkan. (tin/and)
Editor:Â Andhika