spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kekerasan Perempuan di Tarakan Meningkat

TARAKAN – Sepanjang Januari hingga November 2023, angka kekerasan pada perempuan di Kota Tarakan mencapai 95 kasus. Angka tersebut meningkat tajam jika dibandingkan tahun 2022 yang jumlahnya hanya sekitar 34 kasus.

“Jadi kalau rekapan satu tahun belum yah. Karena ini baru sampai November dan Desember masih berjalan. Paling nanti rekapan satu tahun datanya ada di 15 Januari 2024. Untuk kasus hingga November 2023 kasus perempuan berdasarkan kejadian ada 95 kasus,” ucap Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Tarakan, Rinny Faulina baru-baru ini.

Menurutnya, naiknya angka kekerasan perempuan ini disebabkan karena mereka sudah berani melapor. Selain itu, pihaknya juga gencar melakukan edukasi kepada masyarakat terkait alur yang harus dilakukan ketika menerima kekerasan.

DP3APPKB, kata dia, juga menggandeng Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tarakan untuk memberi edukasi dari segi hukum. Seperti Undang- undang Perlindungan Anak, Kekerasan Seksual, ataupun ketika mengalami KDRT.

“Mungkin karena tahun ini banyak kegiatan sehingga mungkin masyarakat atau perempuan mulai berani bersuara. Kami juga ada layanan SAPA 129, jadi kalau mereka tidak mau langsung bertatap muka, mereka bisa menghubungi sapa 129. Nanti kan langsung online ke pusat nanti baru disampaikan ke daerah. Jadi sekarang mulai banyak laporan, karena sudah banyak ruang untuk melapor,” paparnya.

Ia lanjut menjelaskan, mayoritas kasus merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Alasannya pun beragam namun sebagai besar karena faktor ekonomi.  Diungkapkannya, berdasarkan data yang dimiliki, kekerasan fisik mencapai 73 kasus dan psikis ada 16. “Yang lain sisanya itu mungkin kekerasan seksual,” kata dia.

Untuk penanganan kasus kekerasan pada perempuan, pihaknya melakukan berbagai langkah. Yang pertama, melakukan asesmen jika mendapatkan suatu laporan. Kemudian memberikan terapi psikologis kepada korban kekerasan. Pendamping psikolog bisa dilakukan sebanyak empat hingga delapan kali sesuai dengan kasus yang diterima. Selanjutnya, memberikan bantuan penanganan hukum.

“Kalau butuh penanganan hukum, kita lakukan bantuan hukum kita ada kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH.) Mungkin mereka tidak mampu bayar advokat maka nanti diberi bantuan,” katanya.

Dalam kesempatan ini, Rinny juga  berharap kepada seluruh perempuan untuk tidak takut melapor jika mengalami kekerasan. Ia tak menampik jika sebagian besar perempuan masih takut untuk bersuara ketika mengalami kekerasan.

“Alasan mereka kadang malu, kedua mungkin juga masih memikirkan faktor ekonomi karena suami menjadi tumpuan keluarga. Sementara anak-anak butuh bapaknya untuk menafkahi, kadang mereka tidak mau melapor,” ucapnya.

Selain itu, dia juga meminta perempuan untuk memiliki keterampilan sehingga tidak tergantung pada suami. “Ini juga jadi PR kami untuk melakukan pemberdayaan kepada perempuan. Jadi perempuan harus bisa berdaya. Meskipun kodrat wanita menikah, tapi dia kan harus punya kemampuan. Artinya tidak bertumpu sama suami, harus ada keahlian yang bisa menghidupkan dirinya sendiri,” harapnya. (apc/and)

Reporter: Ade Prasetia
Editor: Andhika

16.4k Pengikut
Mengikuti

BERITA POPULER