TANJUNG SELOR – Terdakwa kasus dugaan korupsi yang menyeret petinggi Perusda Berdikari, inisial SF dan AJP menjalani sidang perdana pada Kamis (7/12/2023) kemarin. Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, dilaksanakan melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Kaltim.
Kepada wartawan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bulungan, Rahmatullah Aryadi mengungkapkan, terdakwa mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan oleh jaksa.
Keduanya, meminta hakim untuk memberikan keadilan dan membatalkan dakwaan tersebut. Sedangkan, untuk sidang pembacaan nota eksepsi dijadwalkan pada pekan depan.
Dikatakan Aryadi, eksepsi merupakan langkah wajar dan sering diambil oleh terdakwa yang merasa tidak bersalah atau merasa dakwaan yang diajukan tidak tepat.
“Hal ini sah, secara aturan,” ucapnya.
Meski begitu, eksepsi yang dilakukan oleh kedua terdakwa belum jelas apa yang menjadi dasar keberatannya. “Kami tidak mengetahui letak dakwan yang memberatkan terdakwa,” kata Aryadi.
Padahal, kata dia dakwaan itu dibacakan sesuai berita acara pemeriksaan (BAP). Dimana, Perusda Berdikari melakukan kegiatan usaha perdagangan melalui unit bisnis perdagangan barang dan jasa dengan menyediakan penjualan bahan material bangunan tahun 2020-2021.
Ditegaskan, sepanjang tahun 2021 terdapat pembelian material dari beberapa orang. Akan tetapi, pembayaran hutang piutang diterima oleh saudara SF (eks Manager Unit Perdagangan Barang Dan Jasa) dan AJP (mantan Manager Agrobisnis dan Agroindustri) tidak dilaporkan ke kas.
“Sehingga, menjadi hutang piutang Perusda Berdikari,” bebernya.
Pelunasan pembayaran hutang piutang, tidak disetorkan ke kas sehingga menimbulkan temuan. Atas dasar itu, Direktur Perusda Berdikari menindaklanjuti kredit yang belum terbayarkan dengan menghubungi customer (pelanggan) yang membeli material bangunan.
Setelah terkonfirmasi, diketahui bahwa pembayaran sudah dilakukan melalui SF dan AJP. Kemudian, Direktur perusda melaporkan ke Kuasa Pemilik Modal (KPM) dan Dewan Pengawas.
Selanjutnya, Perusda Berdikari bersurat ke Inspektorat untuk dilakukan audit. Hasilnya, ditemukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan daerah.
“Kerugian negara dalam kasus ini memcapai Rp 1,6 miliar,” terangnya.
Sehingga kedua dianggap telah melakukan pelanggaran tindak pidana, dan dipersangkakan Pasal 2 Ayat I subsider Pasal 2 juncto Pasal 19 Ayat I Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana telah diubah, dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tipikor. (tin/and)
Editor: Andhika