TANJUNG REDEB – Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Berau menggelar Launching Indeks Kerawanan Pemihan (IKP) Tahun 2024, di Hotel Grand Parama, Jalan Pemuda, Tanjung Redeb, Jum’at (19/7/2024).
Bawaslu Berau telah melakukan identifikasi dan analisis terhadap berbagai kerawanan yang berpotensi terjadi pada Pemilihan serentak 2024 di Kabupaten Berau.
Untuk itu, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas (HP2H) Bawaslu Berau, Natalis Wada menyampaikan pemetaan IKP Kabupaten Berau berpedoman pada konstruksi Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang telah disusun oleh Bawaslu RI, dan berdasarkan arahan dari Bawaslu Provinsi Kalimantan Timur.
“Kontruksi IKP terdiri dari 4 dimensi, 12 subdimensi, dan 61 indikator,” ungkapnya.
Natalis menjelaskan 4 dimensi IKP yakni Konteks Dimensi Sosial Politik terdiri dari 3 subdimensi dan 16 indikator. Dimensi Penyelenggaraan Pemilu terdiri 5 subdimensi dan 24 indikator. Dimensi Kontestasi terdiri 2 subdimensi dan 15 indikator. Terakhir dimensi Partisipasi terdiri 2 subdimensi dan 6 indikator.
“IKP ini berdasarkan informasi yang telah didapatkan berdasarkan semua kejadian yang ditemukan pada kegiatan pengawasan Pemilu dan pemilihan sebelumnya,” ucapnya.
Lanjut Natalis, setiap informasi dan kejadian itu selanjutnya diklasifikasi berdasarkan indikator kerawanan pada masing-masing dimensi dan sub-dimensi kerawanan. Dengan konstruksi ini, diperoleh gambaran secara lebih spesifik mengenai potensi kerawanan pada Pemilihan serentak tahun 2024.
“Hal ini dilakukan sebagai pencegahan dan pengawasan terhadap pemilihan di Berau. Tidak hanya untuk Bawasli Berau melainkan seluruh masyarakat sebagai pengawasan partisipatif,” tuturnya.
Natalis mengungkapkan masuk kedalam dimensi pertama yakni Sosial dan Politik dengan subdimensi keamanan, otoritas penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan negara.
Menurutnya, dari ketiga subdimensi tersebut keamanan merupakan subdimensi yang sangat rawan, beberapa indikator seperti adanya kekerasan ataupun kerusuhan mengandung unsur SARA dalam berpolitik atau kepemiluan dan melibatkan tokoh publik, politik dan aparat keamanan.
Selain itu, adanya bencana alam dan non alam yang mengganggu tahapan Pemilu atau Pilkada. Intimidasi terhadap peserta, penyelenggara dan pemilih. Serta perusakan fasilitas penyelenggaran pemilu.
“Baik dalam bentuk kekerasan verbal dan non verbal maupun kekerasan fisik,” jelasnya.
Kemudian, Natalis menjelaskan pada dimensi kedua yakni Penyelenggaran Pemilu dengan subdimensi hak memilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, adjudikasi dan keberatan dan pengawasan pemilu.
Dirinya menekankan dalam subdimensi hak memilih potensi kerawanan terdapat pada hilangnya hak pilih dan pemilih ganda. Seperti adanya pemilih memenuhi syarat namun tidak masuk dalam DPT begitupun sebaliknya, tidak memiliki E-KTP, pemilih ganda yang terdaftar, penggelembungan jumlah data pemilih dan pemilih pindah memilih yang tidak bisa memberikan hak suaranya.
“Subdimensi pelaksanaan kampanye kerawanannya terdapat pada penyelenggara tidak profesional yang dapat merugikan kampanye calon,” ujarnya.
Kemudian, pada subdimensi Pemungutan Suara terdapat beberapa kerawanan yang perlu diperhatikan. Seperti keterlambatan logistik, surat suara tertukar, hilangnya hak pilih warga rawat inap rumah sakit, pemilih bukan DPT, Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 6 TPS, Perhitungan Ulang Surat Suara (PUSS), kekurangan logistik surat suara dan stiker logistik rusak.
“Belajar dari Pemilu sebelumnya hak pilih pada rumah sakit harus bisa dimaksimalkan,” katanya.
Natalis mengungkapkan pada dimensi ketiga yakni Kontestasi dengan subdimensi hak dipilih dan kampanye calon.
Dirinya menjelaskan pada subdimensi hak dipilih terdapat beberapa indikator kerawanan yakni adanya penolakan terhadap calon perempuan, calon berlatarbelakang etnis, suku dan agama tertentu dan pemalsuan dokumen dalam proses pencalonan Pemilu dan Pilkada.
“Pada subdimensi kampanye calon tidak dibenarkan dalam berkampanya mengandung isu SARA, menyebarkan berita HOAX, ujaran kebencian, kekerasan visik maupun verbal dan politik uang,” tegasnya.
Pada Dimensi terakhir yakni Partisipasi , Natalis mengatakan ada dua subdimensi yakni partisipasi pemilih dan partisipasi kelompok masyarakat.
Pada subdimensi partisipasi pemilih terdapat beberapa indikator kerawanan. Seperti, ada upaya untuk menghalangi pemilih memberikan hak suara di TPS, adanya informasi ketiadaan pemantau Pemilu, dan adanya pemilih tambahan melebihi jumlah surat suara cadangan sebesar 2 persen.
“Pada subdimensi partisipasi kelompok masyarakat ada beberapa indikator kerawanan. Seperti adanya laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Pengawas Pemilu dan adanya mobilisasi penolakan terhadap pelaksanaan pemilu/pilkada dari kelompok masyarakat,” bebernya.
Selain itu, Natalis menjelaskan Bawaslu Berau telah mengeluarkan analisis isu strategis dan rekomendasi yang menjadi rawan saat Pemilu atau Pilkada berlangsung. Seperti, Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri, Potensi Polarisasi Masyarakat, Mitigasi Dampak Penggunaan Media Sosial, dan Politik Uang.
Kendati Demikian, Natalis menjelaskan berdasarkan IKP dari Bawaslu Republik Indonesia, Kabupaten Berau menempati potensi kerawanan ditingkat sedang. Masih dalam zona kuning.
Namun, berdasarkan Dimensi, Subdimensi dan Indikator yang ada Kabupaten Berau berpotensi masuk kedalam potensi kerawanan ditingkat tinggi atau masuk dalam zona merah IKP.
“Hal ini bisa dipengaruhi berdasarkan pemetaan kerawanan berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Pilkada 2020 dan Pemilu 2024 sebelumnya,” tandasnya. (ril/and)