TARAKAN – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tarakan menanggapi aksi demo yang dilakukan Aliansi Tapera, Senin (10/6/2024) siang tadi.
Aliansi yang terdiri dari mahasiswa HMI Tarakan, BEM Poltek Bisnis Kaltara, dan UBT ini menuntut tiga hal. Pertama, stop kriminalisasi aktivis dan bebaskan aktivis dari jeruji besi. Kedua, stop komersialisasi pendidikan dan fokus rekonstruksi sistem pendidikan yang pro rakyat. Ketiga, membatalkan kebijakan Tapera.
Wakil Ketua II DPRD Kota Tarakan, Yulius Dinandus mengatakan, surat yang masuk ke DPRD, tuntutan mahasiswa hanya menolak Tapera. Namun fakta di lapangan, ada dua tuntutan tambahan berkaitan dengan pendidikan dan kriminalisasi aktivis.
Secara pribadi dan sebagai salah satu pimpinan di DPRD Tarakan, dia tak setuju dengan penerapan Tapera.
“Karena di beberapa instansi pemerintah saja masih ada memunculkan masalah,” kata dia.
Menurutnya, semestinya negara memunculkan kepuasan terhadap pelaksanaan Tapera terlebih dahulu, baik di lingkup ASN Polri maupun TNI. Jika muncul kepuasan, menurutnya, tidak akan muncul kegaduhan di masyarakat.
“Jujur aja di negara kita ini kan sulit saling percaya. Jaminan kepercayaan itulah yang dimunculkan pemerintah baru dibuat programnya,” paparnya.
Bahkan, di negara-negara maju sulit menjalankan Tapera. Yulius menegaskan Tapera memberatkan dan belum tepat guna untuk masyarakat.
Dari tiga tuntutan yang dilayangkan mahasiswa, pihaknya sepakat pada dua hal yakni penolakan Tapera dan perbaikan pendidikan termasuk regulasinya.
Namun untuk tuntutan yang ketiga, jika tuntutan mahasiswa agar kepolisian pro terhadap aspirasi rakyat, pihaknya setuju.
“Tapi kalau pencopotan-pencopotan aparat negara, itu kan bagian dari urusan yudikatif saya kan mewakili lembaga legislatif. Kalau lembaga yudikatif diurusi legislatif negara ini kacau. Makanya kita tidak masuk ke ranah itu,” paparnya.
Kendati demikian, DPRD tetap akan memfasilitasi penyampaian aspirasi oleh sejumlah mahasiswa. Hanya saja, sifatnya berupa usulan.
Pewarta: Ade Prasetia
Editor: Yusva Alam